Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior Faisal Basri mengatakan meskipun Indonesia memiliki tambang nikel tetapi tidak secara otomatis menguasai pasar mobil listrik karena yang dibutuhkan industri mobil listrik dan komponen pendukungnya adalah iklim bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh nilai tambah lebih banyak.
"Ada kesan kalau bikin electric vehicle mesti produksi semua, seperti lokal konten. Tidak ada negara yang tiba-tiba menjadi negara industri yang unggul di otomotif, Jepang dan Jerman butuh ratusan tahun untuk menghasilkan kondisi sekarang," katanya dalam diskusi daring Peluang Ekonomi Pasca Leaders Summit on Climate yang dipantau di Jakarta, Selasa (27/4/2021).
Dia menyarankan agar Indonesia menjadi bagian dari global supply chain dengan memilih komponen yang dapat memberikan nilai tambah paling tinggi.
"Kalau tiba-tiba ingin menjadi negara produsen utama mobil listrik, mimpi seperti itu mendekati ngawur," kelakar Faisal.
Dia mengungkapkan bahwa China kini sudah tobat menjadi pusat manufaktur terbesar di dunia, karena nilai tambah yang dinikmati oleh negara itu paling sedikit.
Produk Apple iPod misalnya, China hanya mendapatkan 7 persen dari total nilai perangkat tersebut. Sementara keuntungan terbesar justru dinikmati Korea Selatan yang memasok layar dan Taiwan yang menyuplai prosesor.
"Kalau kita siapkan infrastrukturnya, maka niscaya opportunity lebih banyak daripada ancaman. Tugas negara membawa transisi energi ini agar tidak menimbulkan shock dan pengangguran," kata Faisal.
Lebih lanjut dia meminta pemerintah agar fokus terhadap komponen-komponen kendaraan listrik yang bisa dikembangkan di dalam negeri, bukan industri mobil listrik secara keseluruhan.
"Doktor ahli electric car relatif terbatas. Kita harus tentukan pilihan dan sejak sekarang kita bangun infrastrukturnya supaya memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat," tutup Faisal.