Bisnis.com, JAKARTA – Penjualan di segmen sport utility vehicle (SUV) premium pada tahun lalu menjadi berkah bagi pabrikan mobil dunia. Namun, hal ini juga menjadi tantangan bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan regulasi terkait perubahan iklim.
Pekan lalu, BMW mengumumkan total penjualan mereka pada 2019 mengalami peningkatan sekitar 2% secara tahunan menjadi 2,16 juta unit di seluruh dunia. SUV BMW atau Seri X menyumbang sekitar 44% dari total penjualan mereka.
Rival bebuyutan BMW, Mercedes-Benz turut mencatatkan kinerja serupa. Meski belum merilis berapa banyak penjualan total pada 2019, pabrikan asal Jerman ini menyatakan bahwa penjualan SUV berkontribusi sekitar sepertiga dari total penjualan.
Meski terdengar menggembirakan, penjualan SUV justru dapat menjadi batu sandungan bagi industri otomotif Eropa untuk beralih ke era mobil listrik. Saat ini, hampir seluruh pabrikan di dunia menggelontorkan investasi besar untuk pengembangan teknologi itu. Namun, pabrikan juga masih belum yakin seberapa besar pasar yang akan dihadirkan oleh segmen baru itu.
Belum lama ini, International Energy Agency (IEA) dalam November World Energy Outlook 2019 telah memperingatkan bahwa Preferensi konsumen terhadap SUV dapat menutupi keuntungan dari pengembangan mobil listrik.
Dalam proyeksinya, IEA melaporkan bahwa peningkatan pangsa pasar SUV sebesar dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, turut mengerek peningkatan sumbangan karbon dioksida (CO2) dari 0,55 gigaton menjadi sekitar 0,7 gigaton.
Hal ini membuat SUV menjadi kontributor terbesar kedua terhadap peningkatan emisi CO2 secara global sejak 2010. SUV berada tepat di bawah sektor energi listrik. SUV, berkontribusi lebih besar dari sejumlah industri lainnya seperti besi dan baja, alumunium, truk, dan penerbangan.
Saat ini, terdapat sedikitnya 200 juta SUV di seluruh dunia, meningkat tajam dari jumlahnya pada 2010 yang hanya mencapai 35 juta unit. IEA data juga menunjukkan bahwa peningkatan SUV ini berkontribusi terhadap sekitar 60% peningkatan armada kendaraan di ranah global sejak 2010.
Jika tren permintaan SUV terus meningkat, IEA memperkirakan hal itu akan menyumbang sebanyak 2 juta barel minyak per hari terhadap proyeksi permintaan minyak global pada 2040.
Sementara itu, Asosiasi Industri Otomotif Jerman (VDA) mengklaim bahwa meski penjualan SUV terus meningkat, mayoritas produk yang terjual adalah SUV dengan emisi rendah, dalam ukuran kecil dan sedang. Adapun, segmen SUV besar hanya mencapai 5% dari total penjualan SUV.
VDA mengatakan bahwa seluruh pelaku industri otomotif Jerman berkomitmen untuk mendukung pengurangan emisi CO2. Mereka juga mengklaim bahwa sejak 2008, mereka telah sukses mengurangi emisi CO2 hingga 35%.
Pada 2018, negara anggota Uni Eropa telah bersepakat untuk menurunkan tingkat emisi CO2 kendaran pada 2030 sebanyak 37,5% dari posisi pada 2021. Hal ini merupakan komitmen lanjutan negara benua biru yang sebelumnya telah mengurangi 40% emisi dari 2007 pada 2021.
Meski begitu, ternyata rata-rata mobil Jerman dinilai masih memiliki tingkat emisi yang cukup tinggi. Data Evercore ISI menunjukkan bahwa tingkat emisi rata-rata mobil Jerman mencapai 124 gram per kilometer, jauh di atas batas pada 2020 sebanyak 95 gram per kilometer.
“Hal ini jelas bukan performa yang posistif dari pabrikan Jerman, dan kami akan terus memperingatkan bahwa mereka berisiko mendapatkan denda jika tidak mampu menyeleraskan produknya dengan aturan yang ada,” tulis Evercore ISI dalam laporannya.