Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berpendapat lonjakan harga baja hingga 20% serta penaikan tarif dasar listrik (TDL) mulai 1 Mei 2014 takkan langsung menggoyang industri otomotif.
Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian (Dirjen IUBTT Kemenperin) Budi Darmadi berpendapat lonjakan harga tersebut tidak seketika mempengaruhi harga jual, baik komponen otomotif maupun kendaraan bermotor. Kedua sektor ini merupakan salah satu industri pengguna baja.
“Material bahan baku dari baja biasanya sudah dipesan hingga beberapa bulan di depan, sehingga penaikan harga baja tak langsung berpengaruh kepada harga jual produk saat itu juga,” ucapnya kepada Bisnis, Rabu (29/1/2014).
Oleh karena itu, sebaiknya pemasok komponen maupun pabrikan otomotif melakukan efisiensi dalam kegiatan produksi. Ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan steel center.
Hal tersebut, imbuh Budi, bertujuan agar material baja yang dikirim ke pabrik langsung sesuai dengan ukuran yang dipesan. “Dengan begitu, bisa mengurangi waste dalam proses pemotongan,” tutur dia.
Indonesian Iron and Steel Industries Association (IISIA) sebelumnya menyatakan harga baja internasional diperkirakan naik hingga 20% pada Januari - Juni 2014. Kemenperin yakin pasokan dan harga komoditas ini akan stabil ke depannya setelah ada pabrik baru baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coils/CRC) beroperasi di dalam negeri.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) I Made Dana Tangkas mengatakan pihaknya akan melakukan efisiensi produksi. Bukan hanya skema pemakaian material dan mesin yang akan direduksi, tapi juga mencakup SDM.
“Reduksinya bisa dari jumlah atau harga. Misalnya, beli bahan baku komponen dari luar negeri dan dalam jumlah besar agar harga bisa lebih murah. Dan meningkatkan ekspor, untuk imbangi biaya impor, kan sama-sama pakai dolar AS,” kata dia.
Wakil Presiden Direktur TMMIN Warih Andang Tjahjono berharap hambatan soal harga bahan baku dan biaya energi tak berpengaruh signifikan terhadap perakitan otomotif di dalam negeri.
“Di tahun politik seperti sekarang ini kami berharap kinerja industri otomotif stabil. Sebab, tahun lalu kami sudah terganggu fluktuasi komoditas,” tuturnya.
Pabrikan Toyota yang bermarkas di Karawang, Jawa Barat, itu menilai tantangan yang dihadapi industri otomotif tak hanya gejolak harga material baja, TDL dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Hal lain patut diwaspadai ialah gejolak politik sejalan dengan penyelenggaraan pemilu.
Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabo) Partjojo Dewo lebih dulu mengemukakan keresahannya terutama menyoal penaikan TDL. Meningkatnya tarif setrum dinilai bakal mendongkrak biaya produksi 10% – 15%.
Produsen kendaraan alat besar kena tarif listrik golongan I3 dengan kenaikan 38,9% dan golongan I4 sebesar 64,7%. “Tantangan kami bukan sekedar masalah harga jual akan naik. Tapi, ini artinya biaya produksi di dalam negeri akan naik. Terlebih upah tenaga kerja juga akan naik lagi,” tutur Partjojo.