Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia tengah berupaya mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) jenis bioetanol untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Namun, di lain sisi, mayoritas bahan baku bioetanol justru diekspor ke Filipina.
Perlu diketahui, bioetanol merupakan bahan bakar alternatif dari nabati seperti tebu, singkong atau jagung yang dapat dicampur dengan bensin dalam kendaraan bermotor pada konsentrasi hingga 10%.
Anggota Dewan Energi Nasional, Agus Pramono mengatakan salah satu bahan baku bioetanol yakni molase justru diimpor besar-besaran ke Filipina, di tengah upaya Indonesia mengembangkan bioetanol di dalam negeri.
“Di sisi lain, kan produksi molase terus jalan ini, sehingga tahun ini ada estimasi sekitar 820.000 ton molase diekspor ke Filipina, padahal itu kalau dijadikan bioetanol kira-kira jadinya sekitar 200 juta liter,” ujar Agus dalam diskusi program Factory Hub di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Rabu (27/11).
Lebih lanjut dia mengatakan, di Indonesia ada sekitar 13 pabrik bioetanol yang mampu memproduksi sekitar 365 juta liter per tahun, atau sekitar 1 juta liter per hari.
Sejauh ini, di Indonesia implementasi penggunaan campuran bioetanol 5% pada bensin, yang dikenal dengan istilah E5, ini secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 10% pada 2029.
Baca Juga
Kendati demikian, progres pengembangan bioetanol itu tergolong lambat, sebab jika mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, seharusnya Indonesia sudah menggunakan campuran etanol sebesar 20% pada 2025.
"Memang sudah ada program bioetanol, tetapi kan program ini enggak jalan-jalan, sehingga pabrik ini sebagian besar ada yang kemudian menghentikan usahanya, daripada enggak ada yang beli," tuturnya.
Selain itu, hanya sedikit dari pabrik bioetanol yang memenuhi kriteria untuk bisa masuk sebagai fuel grade, sedangkan yang lain adalah food grade.
“Nah, akhirnya hanya ada beberapa pabrik yang menyanggupi untuk memproduksi bioetanol fuel grade itu 3 atau 5 perusahaan, totalnya itu 60 juta liter per tahun,” katanya.
Agus mengatakan, pengembangan bioetanol juga menghadapi kendala dalam harga dan cukai yang hingga saat ini masih diterapkan pada etanol, yang merupakan bahan baku bioetanol.
Adapun, cukai etanol tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 160/2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol.
Berdasarkan beleid tersebut, etanol tanpa golongan dalam kadar berapapun dikenakan cukai Rp20.000 per liter untuk produksi dalam negeri dan luar negeri.
“Ternyata bioetanol itu kena cukai, ini yang menjadi kendala, dan saat ini kita juga mendorong terus nih, supaya kalau bisa cukai itu dilepaskan untuk yang fuel grade,” pungkas Agus.