Bisnis.com, JAKARTA- Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) dinilai menjadi peluang yang harus ditangkap oleh industri otomotif nasional sejalan dengan adanya peluang untuk memompa produksi, terutama rangsangan produksi mobil berbasis elektrik.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, kawasan MENA atau Middle East and North Africa sangat potensial, mengingat masa transisi dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan.
"Ini menjadi kesempatan untuk mengekspor tidak hanya mobil listrik, tetapi juga model hybrid," kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (11/8/2022).
Saat ini, sambungnya, pasar mobil otomotif di kawasan MENA, sebanyak 52 persen pasarnya adalah Arab Saudi. Negeri tersebut masih menggunakan bahan bakar berbasis fosil atau bahan bakar minyak (BBM).
Potensi industri otomotif RI untuk meraup cuan di kawasan MENA tidak hanya didukung oleh momentum peralihan di atas, tetapi juga pertumbuhan pasar otomotif di kawasan yang tercatat impresif.
Bhima mengatakan pertumbuhan industri otomotif di Timur Tengah dan Afrika Utara rata-rata sebesar 36 persen per tahun, dan diprediksi meningkat signifikan dalam 5 tahun ke depan.
Baca Juga
Indonesia dinilai bisa mengekspor sejumlah produk seperti transportasi publik dan angkutan logistik yang memiliki pasar besar di kawasan tersebut.
Bagaimana pun, Bhima melihat Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah tantangan dalam menangkap peluang pasar di Timur Tengah dan Afrika Utara.
"Tantangannya adalah standar emisi Euro dan pengembangan mobil hybrid yang perlu dipacu terus dengan model menarik serta sesuai dengan permintaan pasar," jelasnya.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah dukungan pemerintah sepeti insentif untu peningkatan kapasitas produksi produk hybrid, sehingga dibutuhkan insentif seperti bea keluar dan perpajakan.
Menurutnya, pasar ekspor potensial perlu mendapatkan insentif untuk beberapa komponen pajak, termasuk diskon Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).
Lebih lanjut, Indonesia bisa memasukkan sektor otomotif ke dalam poin-poin perjanjian kerja sama dagang, baik dalam kerangka Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) maupun Preferential Trade Agreement (PTA).
Tidak berakhir di situ, Bhima menilai RI perlu menunjang upaya tersebut dengan infrastruktur memadai, seperti kawasan industri yang modern dan konsistensi penurunan biaya logistik.
Termasuk, kedekatan lokasi antara kluster industri suku cadang (spare part) dan tempat perakitan, serta melibatkan produsen komponen lokal untuk melakukan bisnis dengan industri besar.