Bisnis.com, JAKARTA -- Saat ini, pasar otomotif domestik sepenuhnya diisi prinsipal asing, baik dari Jepang, Eropa dan Amerika, Korea Selatan, India, maupun China.
Lebih dari 5 tahun terakhir, pasar otomotif Tanah Air masih berada di kisaran 1,2 juta unit. Sepanjang periode itu, pencapaian penjualan seluruh prinsipal tercatat mengalami naik turun.
Beragam faktor bertalian dengan jualan masing-masing merek. Paling utama, tentunya, tingkat pertumbuhan ekonomi nasional serta daya beli masyarakat.
Sejak 2015, pertumbuhan pasar tertinggi hanya terjadi pada tahun lalu, yakni sebesar 6,9 persen dengan catatan volume penjualan seluruh merek mencapai 1,11 juta unit. Pada tahun sebelumnya, total pasar itu mencapai 1,05 juta unit.
Selama periode tersebut, selain lima besar yaitu Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi, posisi para pemain silih berganti. Bahkan, terdapat merek yang tumbang, seperti KIA yang berasal dari Korea Selatan (Korsel).
Baca Juga
Pengunjung mengamati mobil baru yang dipamerkan di pusat perbelanjaan di Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/3/2019)./Bisnis-Rachman
Wuling dan DFSK, yang datang dari Negeri Panda, boleh jadi telah mencaplok kue yang sebelumnya dinikmati pemain lama. Sejak 2017, dua pengganggu pasar itu menggeliat dengan jualan produk bertipe Multi Purpose Vehicle (MPV) maupun Sport Utility Vehicle (SUV).
Tipe produk MPV dan SUV itulah yang amat mampu diserap konsumen Indonesia.
“Sebab, daya beli terbesar di sini, masih kategori mobil Rp200 juta ke bawah. Itu tipe apa kalau bukan MPV?” tegas Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. Sugiarto kepada Bisnis, belum lama ini.
Pada ceruk pasar demikian, sulit bagi pemain lain menantang merek asal Jepang. Paling tidak, mencuri lewat pasar mobil komersial seperti yang digeluti Tata Motors lewat penjualan truk.
Sebagai pengecualian, Wuling dan DFSK boleh dijadikan penantang anyar. Meski demikian, keduanya belum sepadan jika masih dikeroyok banyak merek Jepang yang menguasai rata-rata 97 persen pasar roda empat.
Hasil bahu membahu Wuling dan DFSK baru bisa melampaui torehan penjualan dari prinsipal asal Korsel yang belakangan memang surut. Kini, merek China seluruhnya menggenggam sekitar 1,5 persen dari total pasar.
Sementara itu, merek mobil Eropa dan Amerika seolah hanya puas mendapatkan segmentasi khusus lewat produk berkelas premium. Sepanjang pasar mengalami stagnasi di kisaran 1,1 juta unit, merek Eropa dan Amerika hanya mencuil rata-rata 1 persen dari volume penjualan tahunan.
Walau demikian, banyak pihak masih meyakini pasar Indonesia berpotensi tumbuh. Hal itu tampak dari rasio kepemilikan mobil dengan jumlah penduduk yang masih jomplang.
Syarat terberat untuk memacu penjualan domestik tak lain dari meroketnya angka pertumbuhan nasional dan kuatnya daya beli masayrakat.
“Faktor itu alamiah terhadap pertumbuhan pasar,” tegas Jongkie.
Inilah yang jadi soal selama 5 tahun belakangan. Tingkat pertumbuhan nasional, walau diiringi tingkat inflasi terkendali rata-rata di bawah 4 persen per tahun, hanya mampu dilecut sampai kisaran 5 persen per tahun.
Konteks demikian membuat ajang pameran otomotif sebagai perang terbuka antar merek meraih pangsa. Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 bakal berlangsung pada 18-28 Juli.
Ajang ini pun diyakini menjadi panggung bagi prinsipal untuk bersolek lewat tampilan produk anyar, bahkan peluncuran perdana.
Meski tersemat tema yang mencerminkan GIIAS 2019 sebagai pameran teknologi, musykil bagi masing-masing prinsipal melewatkan momen menggenjot penjualan tersebut. Sebaliknya, sebagai konsumen di negara berkembang, ajang GIIAS juga dijadikan wahana berburu promo selain “cuci mata”.
Minat membeli mobil di Indonesia selalu seiring dengan tingkat harga yang ditawarkan.
“Harga cukup dominan, faktor lainnya, yaitu teknologi keselamatan ataupun efisiensi,” tambah Jongkie.
Preferensi Konsumen
Di konferensi internasional New Frontiers in Engineering, Science & Technology, yang berlangsung pada Januari 2018, tim peneliti dari Indian Institute of Technology Delhi dan NorthCap University Gurugram, terdiri atas Druv Mathur dkk, melakukan survei perilaku konsumen otomotif.
Walaupun mengambil kasus India, setidaknya banyak kemiripan dengan perilaku konsumen Indonesia.
Xpander diproduksi di pabrik Mitsubishi di Greenland International Industrial Center (GIIC) Deltamas, Bekasi./Bisnis.com
Responden terbanyak yang dijaring survei tersebut berasal dari kalangan usia produktif 18-25 tahun dengan porsi 82,5 persen, rentang usia 25-35 tahun sebanyak 7,8 persen, usia 35-35 tahun sebesar 3,55 persen, dan sisanya merupakan responden yang berusia di atas 45 tahun.
Hasilnya, sebagian besar konsumen, yakni 16,5 persen, memilih merek lokal Maruti. Diikuti dengan preferensi pilihan Hyundai, Honda, dan Toyota.
Selain Maruti, merek lokal lainnya yaitu Mahindra masuk dalam lima besar terpopuler di kalangan konsumen produktif.
Menurut hasil riset tersebut, citra merek atau brand image bagi publik India cukup signifikan mempengaruhi keputusan membeli. Selain itu, soal teknologi mesin yang efisien juga bakal dicari mayoritas konsumen.
Sayang, penelitian tersebut tidak memasukan komponen harga sebagai salah satu prefrensi keputusan membeli konsumen.
Lain halnya dengan hasil penelitian perilaku konsumen yang dimuat pada Journal of Engineering and Techological Science, Malaysia pada 2016.
Penelitian yang juga melibatkan anggota Asean New Car Assessment Program (NCAP) Khairil Anwar Abu Kassim itu sebenarnya ingin mendapatkan jawaban terkait prefrensi konsumen dalam hal komponen teknologi keselamatan. Penelitian berjudul “Consumer Behaviour towards Safer Car Purchasing Decisions” ini menelusuri kasus konsumen Malaysia.
Riset yang didahului survei itu menjaring responden terbanyak dari kalangan usia 17-25 tahun, sebesar 48,5 persen dari total responden berjumlah 103 orang. Terbanyak kedua adalah responden yang berasal dari usia 26-35 tahun yaitu sebesar 25,3 persen, sedangkan sisanya di atas usia 36 tahun.
Para responden juga memiliki pengalaman mengemudi yang berbeda-beda. Sekitar 68,9 persen baru mengemudi kurang dari 10 tahun, sedangkan sisanya mempunyai pengalaman lebih dari 10 tahun.
Faktor harga masih cukup dominan mempengaruhi keputusan membeli konsumen. Total konsumen yang mengaku harga mobil merupakan prioritas keputusan membeli tercatat sebanyak 27 persen.
Sementara itu, faktor keselamatan menjadi pertimbangan nomor dua buat konsumen, dengan skor 19 persen. Tingkat efisiensi serta kenyamanan merupakan faktor lain dalam hal keputusan membeli konsumen.
Perilaku konsumen di Indonesia pun agaknya tak berbeda dengan India dan Malaysia. Faktor harga, efisiensi, dan teknologi keselamatan, jadi rujukan utama bagi keputusan membeli konsumen.
Tentunya, faktor utama buat konsumen tersebut pun sudah diracik sedemikian rupa oleh para prinsipal guna memenangi persaingan di pasar yang kian sesak. Tak percaya? Saksikan saja nanti di ajang GIIAS 2019.