Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengembangan Kendaraan Ramah Lingkungan, Pilih PPnBM atau Cukai Karbon?

Pemerintah terus mendorong pengembangan kendaraan ramah lingkungan, termasuk dengan mengusulkan aturan pengecualian PPnBM. Di sisi lain, opsi cukai karbon juga dipandang potensial.
Pengunjung mengamati mobil baru yang dipamerkan di pusat perbelanjaan di Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/3/2019)./Bisnis-Rachman
Pengunjung mengamati mobil baru yang dipamerkan di pusat perbelanjaan di Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/3/2019)./Bisnis-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA -- Pada 11 Maret 2019, Kementerian Perindustrian mengusulkan kepada legislator terkait aturan pengecualian Pajak Penjualan Barang Mewah atau PPnBM untuk kendaraan bermotor. Usulan itu disampaikan dengan tujuan melecut kehadiran kendaraan ramah lingkungan.

Dalam berkas konsultasi antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Komisi XI DPR RI, disebutkan adanya usulan pengecualian PPnBM. Usulan itu akan mengubah rezim penentuan tarif yang selama ini hanya berdasarkan kapasitas mesin.

Kebijakan pengecualian PPnBM itu akan menyapu program pengembangan kendaraan yang dilakukan pemerintah. Pertama, untuk jenis Low Cost Green Car alias LCGC (Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau/KBH2), diasumsikan bisa menempuh jarak 20 kilometer (km) per liter, dengan emisi sebesar 120 gram per km.

LCGC, dalam usulan tersebut, masih dianggap sebagai produk paling rendah emisi. LCGC dikenakan tarif 3% untuk kapasitas mesin 1.500cc.

Sementara itu, untuk mobil jenis hibrida, usulan pengecualian PPnBM bisa mencapai 8%-20%, tergantung kapasitas mesin. Khusus mobil berbahan bakar biofuel atau flexi engine, semua tipe mesin dikenakan 8%, sedangkan untuk Plug-in Hybrid Vehicle (PHEV) serta mobil baterai listrik dibebaskan dari PPnBM.

Sisanya, untuk kendaraan mesin konvensional atau Internal Combution Engine (ICE), penentuan tarif variatif mengikuti besaran emisi dan kapasitas mesin. Untuk mobil jenis komersial, rentang tarif mulai dari 5% hingga 30%, sedangkan mobil penumpang tarif terkecil 15% dan tertinggi mencapai 70%.

Pengembangan Kendaraan Ramah Lingkungan, Pilih PPnBM atau Cukai Karbon?

Model berfoto pada peluncuran Toyota New Agya, di Jakarta, Jumat (7/4/2017). /ANTARA-Audy Alwi

Usulan PPnBM ini pun dianggap sebangun dengan semangat pelaksanaan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ancang-ancang aturan main energi nasional masa mendatang itu termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 Tentang RUEN.

Dalam beleid tersebut, sektor transportasi dituntut untuk mengurangi konsumsi BBM. Jika konsumsi BBM mencapai 96% pada 2015, maka jumlahnya akan berangsur menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Pada 2025, penggunaan BBM dalam bauran energi nasional mencapai 83,5%. Dominasi itu kian berkurang hingga 72,9% pada 2050, seiring diversifikasi atau peningkatan penggunaan energi jenis lain, seperti Bahan Bakar Nabati (BBN), gas, dan listrik.

Masih dalam regulasi yang sama, terdapat kewajiban pengembangan kendaraan bertenaga listrik atau hibrida pada 2025 sebanyak 2.200 unit jenis roda empat, 2,1 juta unit untuk kendaraan roda dua. Selain itu, pemerintah harus menyiapkan kebijakan pemanfaatan kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dan etanol (flexi engine).

Dalam hal pengembangan produk otomotif ramah lingkungan, pemerintah punya kewajiban menyusun insentif fiskal untuk produksi otomotif bertenaga listrik. Selain itu, pemerintah diminta menghampar peta jalan penerapan kebijakan pajak karbon atas konsumsi energi fosil.

Atas dasar itu, Kemenperin menilai PPnBM sebagai instrumen tepat untuk mengawali langkah. Sejak semula, opsi pengecualian hingga penghapusan PPnBM dianggap paling efektif merangsang hadirnya jajaran produk Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), sehingga mampu menekan konsumsi BBM serta memangkas tingkat emisi.

Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan rancangan pengecualian PPnBM inilah yang disepakati pemerintah untuk diusulkan ke DPR RI.

“Pengenaannya atas besaran cc mesin dan fuel efisiensi/CO2,” ungkapnya kepada Bisnis, Kamis (21/3/2019).

Pengembangan Kendaraan Ramah Lingkungan, Pilih PPnBM atau Cukai Karbon?

Ilustrasi kabel pengisian daya listrik untuk mobil hibrida keluaran Volvo, Kamis (6/7/2017)./Reuters

Di sisi lain, sebagaimana pengalaman negara lain mengunci tingkat emisi pada taraf rendah dengan menggunakan cukai karbon, opsi cukai karbon masih belum dilirik.

“Kami tidak membahas rezim cukai karbon,” tegas Putu Juli.

Dalam hal penerapan cukai karbon di negara lain, terdapat dua pendekatan yang dikenal, yakni insentif dan disinsentif. Saat ini, Inggris dan Prancis menjadi dua negara yang menerapkan kebijakan cukai karbon bagi kendaraan berbasis CO2.

Pada 2001, Inggris tercatat memperkenalkan sistem pengenaan cukai kendaraan bermotor berdasarkan peringkat CO2. Ukurannya, kian besar emisi per km, maka tarif akan lebih tinggi.

Selain pengenaan cukai pada pertama kali pembelian, rumus tersebut juga berlaku bagi tarif pajak tahunan.

Prancis lebih komprehensif mendorong kebijakan pro emisi CO2 rendah. Selain menerapkan tarif pajak tinggi bagi penghasil emisi CO2 yang besar, pemerintah pun memberikan insentif bagi penjualan mobil dengan CO2 rendah.

Belum Efektif
Namun, usulan PPnBM sebagai instrumen mengikis produk emisi karbon tinggi dianggap belum mampu meningkatkan efektivitas. Persoalannya, meski dikenakan tarif PPnBM lebih rendah, produk dengan teknologi mesin emisi rendah tetap memakan ongkos produksi yang mahal.

“Alhasil, di pasar, harga mobil LCEV baik itu hibrida ataupun teknologi lainnya, masih jauh lebih tinggi dibandingkan ICE, mesin konvensional. Konsumen pasti mencari yang harganya lebih rendah,” ungkap Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin kepada Bisnis.

Pengembangan Kendaraan Ramah Lingkungan, Pilih PPnBM atau Cukai Karbon?

Ribuan kendaraan melewati ruas Tol Dalam Kota, di Jakarta, Jumat (8/6/2018)./ANTARA-Galih Pradipta

Oleh karena itu, dia menilai dorongan untuk menggenjot LCEV lewat PPnBM jauh panggang dari api. Langkah Indonesia kian berat menyusutkan tingkat emisi karbon mengingat terdapat target penurunan CO2 sebesar 26% pada 2020.

Dari sisi emisi karbon, berdasarkan perhitungan KPBB, untuk mobil jenis LCGC mencapai 120gram per km. Adapun mobil jenis 4x2 dengan kapasitas mesin 2.500cc bisa mencapai 255 gram per km, sedangkan mesin 3.000cc bisa menembus 230gram per km.

Mobil-mobil jenis tersebut merupakan penguasa pasar domestik. Mayoritas harga mobil bermesin konvensional dengan emisi karbon tinggi itu pun cenderung level menengah bawah, berbeda dengan banderol harga mobil bermesin hibrida yang hampir menyentuh level harga mewah.

Berdasarkan simulasi perhitungan KPBB, harga mobil LCEV akan lebih bersaing jika diterapkan cukai karbon. Misalnya, Toyota Prius bermesin hibrida harganya diperkirakan mencapai Rp305 juta. Dengan pengecualian PPnBM, harga itu mirip dengan Toyota Innova bermesin konvesional dengan kapasitas 2.000cc, yang senilai Rp279 juta.

Tetapi, andaikata penerapan pengecualian PPnBM diubah dengan mekanisme cukai karbon, harga Prius bisa turun hingga Rp316,53 juta, sedangkan Innova mencapai Rp488,8 juta. Hal tersebut dikarenakan Prius dengan predikat emisi karbon rendah mendapatkan insentif, sedangkan Innova dibebankan disinsentif.

“Oleh karena itu, kami melihat jika pemerintah mau serius terhadap persoalan lingkungan, maka cukai karbon lebih tepat dibandingkan PPnBM,” ucap Safrudin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper