Bisnis.com, MATARAM - Malaysia menang sebelum bertanding menghadapi pasar bebas Asean akhir 2015 dengan digandengnya Proton, perusahaan otomotif Malaysia, sebagai mobil nasional Indonesia.
"Malaysia menggunakan tangan kuat pemerintah untuk meningkatkan penjualan Proton di Indonesia," ujar M. Firmansyah, pengamat ekonomi dari Universitas Mataram, Selasa (10/2).
"Bayangkan dengan Proton sebagai mobil nasional, kemudian misalnya diikuti dengan kebijakan pajak murah, mewajibkan birokrasi menggunakan Proton, maka kemungkinan Proton akan laku dijual di Tanah Air."
Dia menjeskan walaupun saat ini Proton belum mampu bersaing dengan raksasa kendaraan (Jepang dan Eropa), tetapi ke depan Proton mungkin akan membanjiri jalan-jalan di Indonesia.
"Dengan label mobil nasional menjadi jalan tidak langsung bagi Proton untuk menyingkirkan saingannya lewat tangan pemerintah," ujarnya.
Menurut Firmansyah, Presiden Joko Widodo harus mulai menonjolkan produk yang benar-benar asli milik bangsa Indonesia, sehingga rakyat merasa bangga bahwa masih punya produk yang pantas dibanggakan untuk dijual, apa pun produk itu.
Atas dasar kebanggaan itu, lanjutnya, mungkin masyarakat Indonesia akan memprioritaskan membeli produk-produk asli Tanah Air ketika perdagangan bebas Asean diselenggarakan akhir 2015.
"Namun, faktanya, apa sih yang kita punya untuk kita jual saat MEA akhir tahun ini," ucap Firmansyah.
Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah harus fokus membenahi ekonomi rakyat. Misalnya, saat ditemukan apel Amerika Serikat mengandung bakteri, bisa menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk memunculkan secara massif keunggulan buah-buahan di Tanah Air dalam bentuk iklan atau apa pun itu.
Dengan begitu, katanya, masyarakat Indoensia akan tahu bahwa ada produk lokal yang juga memiliki kualitas sama dengan produk impor.
"Siapa tahu dari informasi itu timbul kesadaran untuk mengutamakan produk lokal. Tapi malah yang heboh Proton Malaysia menjadi mobil nasional," " katanya.
Melihat kondisi dari kebijakan pemerintah menggandeng Proton Malaysia, Firmansyah pesimistis karena Indonesia tidak akan banyak memperoleh nilai tambah ketika MEA berlaku.