Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga riset global Frost & Sullivan menilai mobil hibrida belum cocok untuk pasar otomotif domestik Indonesia. Tak hanya subsidi yang perlu diberikan pemerintah, tetapi juga perbaikan kualitas bahan bakar.
Masaki Honda, Consulting Director Automotive and Transportation Asia Pasific Frost & Sullivan, berpendapat kendaraan hibrida sejatinya lebih efisien dibandingkan tipe standar. "Kemacetan seperti di Indonesia, mobil jadi stop and go, tenaga hibrida lebih bagus," tuturnya menjawab Bisnis, Kamis (26/6/2014).
Sejalan dengan penggunaan dua jenis mesin maka harga jual hibrida lebih mahal dibandingan dengan tipe mobil standar. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan disparitas yang ada mencapai 40%.
Mobil dual engines tersebut umumnya laku di negara maju. Kendati demikian penjualan hibrida di Malaysia tetap lebih baik daripada Indonesia, demikian ujar Honda tanpa menyebutkan angka secara detil.
Perkembangan pasar mobil hibrida di Negeri Jiran terdorong penerapan kebijakan Energy Efficient Vehicle (EEV). Program ini berlaku untuk kendaraan 2.500 cc ke atas bermesin bensin, diesel, hibrida, mobil listrik, maupun bahan bakar alternatif lain.
Sokongan yang diberikan pemerintah Malaysia berupa insentif pajak investasi, grants, serta dukungan infrastruktur penunjang. Penetrasi mobil rendah emisi di pasar domestik Negeri Jiran kini sekitar 3%. "Indonesia memiliki kapabilitas untuk mengembangkan [pasar mobil hibrida]. Ini perlu didukung kebijakan perpajakan," ucap Honda.