BISNIS.COM, JAKARTA— Asosiasi Industri Automotif Nusantara (Asia Nusa) mengkhawatirkan hadirnya mobil murah dan ramah lingkungan (LCGC/mobil hijau) akan menjadi ‘terminator’ yang bakal memberangus pengembangan mobil nasional.
Selama ini, industri mobil nasional sulit berkembang karena kurang keberpihakan pemerintah serta dukungan perbankan dan perusahaan pembiayaan.
Dewa Yuniardi, Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi Asia Nusa, menuturkan sekalipun tanpa dukungan pemerintah, perencanaan dan perakitan mobil nasional (Mobnas) sampai saat ini masih berjalan.
Namun, produksi dilakukan hanya untuk memenuhi pesanan dari perusahaan transportasi dan koperasi, bukan untuk dijual secara ritel.
“Kami memang tidak menyasar pasar ritel karena kompetisinya terlalu berat. Kami pasti kalah karena untuk bisa masuk ke sana butuh modal besar, butuh nama, jaringan aftersales dan distribusi, serta service,” tuturnya kepada Bisnis, Rabu (20/3/2013).
Berdasarkan varian, lanjut Dewa, hanya Mobnas merek Tawon yang produksinya cukup lumayan, yakni sekitar 600 unit per bulan.
Sementara itu, merek lain seperti GEA Moko dan Komodo masih sangat rendah, masing-masing berkisar 50 unit dan 10 unit per bulan.
“Kalau LCGC keluar, itu bisa jadi ‘Terminator’ bagi mobil nasional. Kami sudah pasti kalah karena selisih harganya dekat. Mobnas kami jual Rp50-Rp60 juta, LCGC harganya sekitar Rp80 juta, sudah pasti konsumen lebih memilih LCGC,” ketusnya.
Dewa menambahkan pengembangan mobil nasional selama ini nyaris tanpa dukungan pemerintah.
Kendala lain yang menghambat pemasaran mobil nasional adalah minimnya dukungan perbankan dan perusahaan pembiayaan untuk bisa memfasilitasi kredit.
“Kami sebenarnya tidak dibantu pun tidak masalah, asalkan ada yang membeli, pasarnya ada. Tak perlu kebijakan yang neko-neko yang pada akhirnya hanya menguntungkan pihak luar,” tegasnya.
Dia mengakui bahwa produsen mobil nasional masih sangat bergantung terhadap pasokan bahan baku dari luar negeri, terutama negara-negara produsen otomotif dunia.
Ketergantungan tersebut bukan karena anak bangsa tak mampu memproduksi sendiri bahan baku otomotif, melainkan karena dominasi produsen asing yang terlalu besar dan memaksa pengembangan mobil nasional harus mengikuti standar mobil asing.
“Kami sebenarnya optimistis industri mobil nasional akan tumbuh, tapi dengan adanya LCGC bisa jadi kebalikannya,” tandas Dewa.
Seperti diketahui, prinsipal otomotif dunia yang memiliki basis produksi di Indonesia tengah menanti terbitnya regulasi LCGC.
Apabila aturan LCGC keluar pada awal April, seperti yang dijanjikan pemerintah, maka dalam waktu dekat jalan-jalan di Indonesia akan dibanjiri mobil hijau.
Dengan adanya regulasi LCGC tersebut, maka nantinya para pengembang mobil murah ramah lingkungan akan mendapatkan pembebasan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM).
Toyota dan Daihatsu, misalnya, telah memproduksi mobil murah merek Agya dan Ayla. Kedua produsen otomotif Jepang tersebut berancang-ancang untuk memasarkan Agya dan Ayla dengan kisaran harga jual Rp80 juta per unit.