Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Mobil Loyo, Industri Komponen Otomotif Butuh Dukungan Pemerintah

Industri komponen otomotif lokal juga perlu didukung agar mampu menjadi pemain global yang unggul dan berdaya saing, baik dari sisi kualitas maupun harga jual.
Pekerja menyelesaikan pembuatan komponen otomotif di pabrik PT Dharma Polimetal Tbk. (DRMA) di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (20/9/2022). Bisnis/Suselo Jati
Pekerja menyelesaikan pembuatan komponen otomotif di pabrik PT Dharma Polimetal Tbk. (DRMA) di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (20/9/2022). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja produksi mobil domestik tengah mengalami penurunan seiring dengan lesunya penjualan otomotif di Tanah Air. Tak hanya berdampak pada produsen kendaraan, hal itu juga dikhawatirkan mengancam industri komponen otomotif lokal.

Mengacu pada data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka produksi mobil secara keseluruhan tercatat sebanyak 368.468 unit pada Januari—April 2025.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelum pandemi, produksi mobil awal tahun ini masih belum pulih mengingat penurunannya mencapai -12,23%. Pada Januari—April 2019, produksi mobil domestik tercatat sebesar 419.841 unit.

Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyebut bahwa selain pabrikan otomotif, nasib industri pendukungnya seperti pabrik komponen yang masuk dalam kategori tier 2 dan tier 3 juga perlu diperhatikan.

“Dalam satu mobil itu kan ada 30.000 komponen, kurang lebih ya. Ada ribuan juga pabrik yang bikin komponennya. Itu juga perlu dibangkitkan, perlu dikembangkan di sini. Bukan hanya pabrikannya saja,” ujar Kukuh, dikutip Senin (9/6/2025).

Menurut dia, industri komponen otomotif lokal juga perlu didukung agar mampu menjadi pemain global yang unggul dan berdaya saing, baik dari sisi kualitas maupun harga jual.

Kendati demikian, Kukuh juga tak menampik bahwa masih ada kekhawatiran dari pelaku industri otomotif terkait dengan adanya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Itu sebabnya, Gaikindo berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan berupa insentif untuk mendukung daya beli masyarakat sehingga penjualan otomotif meningkat.

“Sejauh ini kan memang masih ada kekhawatiran ke sana [PHK massal], tetapi kan kita juga harus lihat apa yang bisa kita lakukan supaya itu tidak terjadi. Kita perlu ada insentif, supaya penjualannya jalan, otomatis produksinya juga jalan,” kata Kukuh.

Adapun, lesunya produksi mobil domestik juga tecermin dari tren kontraksi Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang terus berlanjut pada Mei 2025, yang tercatat di level 47,4 atau masih di bawah ambang batas normal yakni 50. Namun, angka itu meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 46,7.

Impor Mobil Listrik Melesat

Dalam perkembangan lain, capaian impor mobil utuh (completely built up/CBU) secara nasional mencapai 41.900 unit. Beberapa di antaranya disumbang oleh sederet pabrikan mobil listrik asal China, seperti BYD, Geely hingga Aion.

Angka impor mobil CBU itu naik signifikan 59,3% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024 sebanyak 26.297 unit.

Secara terperinci, pada 4 bulan pertama 2025, BYD dan Denza tercatat mengimpor mobil masing-masing sebanyak 8.914 unit dan 3.409 unit. Disusul Geely 1.800 unit dan Aion 1.563 unit.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengamini bahwa utilisasi pabrik otomotif saat ini sedang menurun akibat dari permintaan domestik yang melemah, dampak dari kebijakan moneter yang ketat, serta tekanan inflasi yang mengurangi daya beli masyarakat.

Menurut Josua, peningkatan impor mobil listrik juga membawa konsekuensi yang kompleks terhadap daya saing industri otomotif lokal. Secara positif, tren ini mendorong percepatan transformasi menuju teknologi ramah lingkungan, yang sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait dengan mobilitas rendah karbon.

“Namun, impor kendaraan listrik yang tinggi berisiko menekan pasar produsen lokal yang belum sepenuhnya siap beralih ke produksi kendaraan listrik secara massal karena keterbatasan teknologi, infrastruktur produksi, serta mahalnya investasi awal,” ujar Josua kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

Josua menyebut, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik global karena memiliki cadangan nikel terbesar dunia yang merupakan komponen utama baterai lithium-ion.

Kendati demikian, imbuhnya, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif serta dukungan nyata terhadap pengembangan kapasitas produksi lokal, terutama di bidang manufaktur baterai dan komponen kendaraan listrik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Editor : Nurbaiti
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper