Bisnis.com, JAKARTA - Komisaris PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), Cyrillus Harinowo menganggap bahwa mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan emisi karbon.
Cyrillus, dalam bukunya yang berjudul “Multi-pathway for Car Electrification”, menyebut bahwa sejatinya mobil listrik BEV masih menghasilkan emisi karbon yang tinggi.
"Penggunaan mobil listrik BEV mungkin zero emission. Namun ketika ingin men-charging baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80% berasal dari pembangkit listrik yang digerakan oleh bahan bakar fosil. Berarti, mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon 87%,” jelas Cyrillus dikutip Rabu (6/11/2024).
Menurutnya, transisi menuju mobil listrik menghadapi sejumlah tantangan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Infrastruktur pengisian baterai masih terbatas, sementara tuntutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca semakin meningkat.
Alhasil, banyak produsen mobil global, termasuk yang beroperasi di Indonesia, mulai mengembangkan hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebagai langkah awal sebelum beralih sepenuhnya ke mobil listrik, hingga mesin fleksibel.
Langkah ini pun dianggap sebagai solusi dari stagnasi dekarbonisasi jika selalu mengandalkan penetrasi mobil listrik. Terlebih dengan perang dagang sengit antara Barat versus China yang memicu pengembangan multiteknologi.
Baca Juga
Cyrillus mengungkapkan Brasil merupakan contoh paling ideal untuk Indonesia. Dalam upaya dekarbonisasi, Brasil telah mengadopsi penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan, yang dihasilkan dari industri gula mereka. Brasil adalah produsen bioetanol terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).
Penggunaan bioetanol di Brasil berpotensi mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, yang merupakan penyumbang utama emisi karbon di negara tersebut. Negara itu juga mengembangkan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan untuk diesel, serta mobil flexy hybrid yang menggunakan bioetanol.
Sementara bagi Indonesia, menurut dia, dengan mempertimbangkan kemunculan tren ragam teknologi dalam dekarbonisasi maka memiliki peluang untuk menguasai rantai pasok kendaraan berteknologi listrik dan mesin flexy.
Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan cadangan nikel guna memproduksi baterai listrik yang diperlukan untuk mobil listrik dan hybrid.
Bahkan, segmen LCGC yang selama ini identik dengan mobil berharga terjangkau, kini berpotensi untuk dihadirkan dalam varian hybrid sehingga menandakan bahwa teknologi ramah lingkungan semakin inklusif dan dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat.
Dia pun menekankan pentingnya memahami bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak hanya terbatas pada mobil listrik berbasis baterai.
“Secara global, saat ini hampir semua sepakat bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak semata mobil listrik. Itu tergantung dari masing-masing negara. Norwegia yang listriknya dikatakan hampir 100% hijau karena menggunakan pembangkit tenaga air [hydro power], bisa benar-benar ramah lingkungan,” pungkasnya.