Bisnis.com, JAKARTA – Pertamina menaikkan harga BBM non subsidi sejak 3 Maret 2022. Harga BBM naik menyesuaikan harga minyak dunia yang kian melambung, mencapai lebih dari US$ 120 per barel.
Kenaikan harga BBM jenis Pertamax diprediksi tidak berdampak pada daya beli masyarakat, karena BBM non subsidi bersifat segmented dan konsumsinya tidak lebih dari 5 persen secara nasional.
"Saya kira ini tidak begitu berdampak karena ini kan penggunanya menengah ke atas, dari sisi keuangan mampu. Konsumsinya juga sedikit sekali jadi nggak akan terlalu berpengaruh, kecuali yang dinaikkan Pertalite dengan konsumsi 47 persen, itu mungkin berdampak," ujar Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan dalam dalam acara Market Review yang diselenggarakan oleh IDX Channel secara virtual, Senin (07/03/2022).
Mamit menambahkan, jika ada migrasi penggunaan BBM non subsidi ke BBM non subsidi atau BBM kadar RON lebih rendah dan harganya lebih murah, porsinya tidak akan besar. Menurut Mamit, masyarakat sudah memahami urgensi penggunaan BBM beroktan tinggi, setidaknya untuk perawatan mesin kendaraan mereka sendiri.
"Saya yakin mereka tidak akan beralih ke BBM dengan RON lebih rendah, karena kan mereka menggunakan mobil mewah, motor mewah, masak harus beralih ke BBM RON rendah yang mungkin berpengaruh ke mesin," jelasnya.
Selain itu, menurut Mamit, akan kurang etis jika pengguna kendaraan mewah beralih menjadi konsumen Pertalite hanya karena harga BBM non subsidi naik dengan besaran Rp 500 hingga Rp 1.100 per liter.
Baca Juga
Mamit menyatakan, meskipun harga BBM non subsidi sudah naik, keuangan Pertamina tidak akan terbantu secara signifikan.
"Karena kan konsumsi paling besar Pertalite 47 persen dan Pertamax 14 persen, jadi BBM ini yang tentunya berpengaruh kuat. Kenaikan harga ini tidak berdampak signifikan, tapi paling tidak mengurangi beban keuangan mereka di tengah tekanan harga minyak dunia," tandasnya.