Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini, rasio kontribusi alat berat buatan dalam negeri terhadap kebutuhan baru 55% - 60%. Sisanya dipenuhi dengan membeli produk utuh dari luar negeri alias impor completely built-up (CBU).
“Produk yang diimpor itu yang spesifikasinya belum ada di sini,” kata Budi Darmadi selaku Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian kepada Bisnis.com, Senin (21/4/2014).
Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) mengeluhkan besarnya volume impor. Pebisnis juga merasa ada ketimpangan peraturan antara impor CBU dan komponen untuk keperluan perakitan di dalam negeri.
Pasalnya, pembelian alat berat dari luar negeri difasilitasi pembebasan bea masuk (bea masuk ditanggung pemerintah / BMDTP). Terkait hal ini Budi menyatakan CBU dan komponen impor yang dimaksud harus jelas negara asalnya.
Jika kendaraan utuh dan komponen didatangkan dari negara Asean, imbuhnya, dipastikan bea masuknya memang 0%. Tetapi, kalau komponen impor yang dimaksud berasal dari Amerika, misalnya, tentu tetap kena tarif.
“Jadi, perbandingannya mesti apple to apple. Kebanyakan alat berat itu diimpor dari China, Amerika, dan Jepang. Di Asean justru kita jagoannya. Thailand buat alat berat yang kecil, kita yang sedang, Amerika yang besar-besar,” ucap Budi.
Hinabi mencatat impor alat berat banyak dari Amerika Serikat dan China. Sepanjang 2013, dari total kebutuhan sekitar 13.000 unit, kontribusi alat berat rakitan lokal cuma 6.127 unit. Padahal, total kapasitas produksi industri alat berat dalam negeri mencapai 10.000 unit per tahun.