Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gaikindo Keberatan LCGC Dianggap Bebani Negara

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai tak tepat jika mobil hemat bahan bakar dengan harga terjangkau (low cost and green car/LCGC) dianggap membebani negara karena membuat kuota BBM subsidi bengkak.
Mobil LCGC Brio
Mobil LCGC Brio

Bisnis.com, JAKARTA--Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai tak tepat jika mobil hemat bahan bakar dengan harga terjangkau (low cost and green car/LCGC) dianggap membebani negara karena membuat kuota BBM subsidi bengkak. Pasalnya, kendati lokalisasi produksinya 0% pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tetap ada penerimaan pajak yang masuk ke kas negara.

“Sekitar 80.000 unit LCGC yang sudah terjual itu tetap membayar pajak pertambahan nilai dan bea balik nama. PPN misalnya, kalau rerata harganya Rp100 juta per unit totalnya ada PPN Rp800 miliar yang masuk ke pemerintah,” ujar Ketua I Gaikindo Jongkie D. Sugiarto kepada Bisnis, Kamis (3/4/2014).

Gaikindo mencatat sepanjang tahun lalu ada sekitar 51.180 unit LCGC yang terjual dari pabrikan ke diler (wholesales). Selama Januari – Februari 2014 laku 30.556 unit berasal dari Honda Brio Satya 4.358 unit, Toyota Agya 13.983 unit, Daihatsu Ayla 8.364  unit, dan Suzuki Wagon R 3.851 unit.

Seluruh kendaraan itu dibekali teknologi mesin berstandar Euro 2 yang seharusnya berpadu dengan bahan bakar berkadar oktan 92 alias BBM nonsubsidi. Oleh karena itu, jika kuota BBM subsidi membengkak tak arif jika serta-merta menyalahkan LCGC.

“Produsen LCGC juga tetap menyumbang ke negara baik pemerintah pusat dan daerah. Jadi, jangan dibilang program ini hanya menghabiskan BBM sudsidi tapi di sisi lain pemerintah juga tetap dapat duit,” tutur Jongkie.

Kementerian Perindustrian berulang kali menjelaskan terkait kritik terhadap LCGC, khususnya menyoal efektivitas program ini terhadap konsumsi BBM nonsubsidi. Pasalnya, di lapangan kendaraan ini disinyalir tetap menenggak premium.

Sekalipun LCGC mengenggak premium jumlahnya diyakini tetap lebih hemat ketimbang mobil lain dengan asumsi seliter bensin bisa menempuh 20 km. Populasi LCGC juga tak lebih dari 1% dari total mobil yang beredar dis eluruh nusantara berkisar 10 juta nit. Artinya, tak tepat jika mobil ini dianggap menghabiskan kuota BBM subsidi.

Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Budi Darmadi menyatakan untuk pengawasan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) bukanlah kewenangan Kemenperin.

“Kalau yang jaga pom bensin bukan bagian kita. Tapi, di buku manual LCGC itu sudah disebutkan, direkomendasikan agar memakai RON 92 atau BBM nonsubsidi,” ujarnya.

Kehadiran LCGC diharapkan bisa memperkuat industri otomotif RI sebagai basis produksi otomotif. Pasalnya, manufaktur kendaraan ini dipatok memenuhi lebih dari 80% konten lokal. Keterlibatan 5 merek dalam program mobil hemat bahan bakar ini membawa investasi baru totalnya senilai US$6,5 miliar serta melahirkan ratusan perusahaan komponen baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dini Hariyanti
Editor : Ismail Fahmi

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper