Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah meyakinkan produksi mobil murah (low cost green car/LCGC) kurang menguntungkan dibandingkan merk mobil umum lainnya sehingga pertambahannya tidak akan signifikan.
Ditjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Budi Darmadi mengatakan produsen mobil di Indonesia memiliki banyak varian yang tingkat keuntungannya melebihi produksi LCGC.
“Lagipula produksi LCGC tidak lebih dari 10% dari total produksi nasional,”ungkapnya, Rabu (26/11).
Menurutnya, LCGC diperuntukkan 1000 cc dan 1200 cc sedangkan produksi mobil umum lebih bervariasi yaitu mulai dari 600cc-3000cc sehingga penambahan sangat tidak dimungkinkan.
Terkait dengan tudingan banyak pihak bahwa LCGC akan menambah potensi kemacetan di kota metropolitan, dia menolak dengan tegas.
Dia mengatakan penjualan LCGC hanya 40.000 unit hingga akhir tahun, sedangkan penjualan mobil umum mencapai 10 juta unit.”Tolong dibandingkan persentasenya, LCGC hanya setara dengan 0,4%, kok bisa bikin macet,”tegasnya.
Namun, dia mengakui secara teori LCGC bisa menggunakan apa saja termasuk premium bersubsidi tetapi tentu saja itu tidak disarankan karena berpotensi memperpendek masa operasional LCGC tersebut.
“Kalo masalah pengawasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi atas LCGC coba tanya ke Kementerian ESDM [Energi dan Sumber Daya Mineral],”katanya.
Dia menambahkan pemerintah juga tengah mengkaji penggunaan bahan bakar gas (BBG) pada mobil pribadi dan angkutan umum, tetapi tampaknya akan terkendala karena pengembangan infrastruktur pompa pengisian gas di Indonesia masih terbatas.
Seperti yang diketahui, beban subsidi BBM selalu membengkak setiap tahun. Belanja subsidi 2013 mencapai Rp200 triliun, naik 45% dari anggaran 2012 sebesar Rp137 triliun.
Sementara itu, ekonom Sampoerna School of Business (SSB) AdlerHaymans Manurung mengatakan kebijakan pemerintah yang mendukung LCGC memiliki efek berantai.
“LCGC berpotensi menambah tekanna pada subsidi BBM yang nantinya berakibat meningkatnya impor minyak,”katanya di Jakarta, Rabu (27/11).
Padahal, dia menuturkan Indonesia tengah menghadapi defisit transaksi berjalan yang diakibatkan ketergantungan impor yang besar untuk impor minyak dan bahan baku industri.