Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah mobil sport utility vehicle (SUV) melaju mulus di jalanan Jakarta. Tampilannya yang garang dan macho membuat siapapun yang mengendarainya terlihat gagah.
Mobil tersebut bukanlah produksi industri besar, melainkan hasil karya anak bangsa, para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ya, itulah tampilan mobil Esemka Rajawali (R2) tipe SUV yang dirakit pada sebuah tempat dengan luas tidak lebih dari 1.000 m2.
Ditemui di sela Pameran Produk Dalam Negeri Nasional di Senayan, Budhi Martono, Public of Communication PT Solo Manufaktur Kreasi menceritakan, pembentukan mobil nasional tersebut berangkat dari keprihatinan banyaknya lulusan SMK yang menganggur.
Setiap tahunnya, SMK mampu meluluskan sekitar 1,2 juta siswa. Dari total tersebut, 500.000 diantaranya terserap di sektor industri, 100.000 masuk ke perguruan tinggi, sementara 600.000 lulusan SMK terpaksa menganggur.
Padahal, lulusan tersebut telah dibekali dengan berbagai keahlian khusus mulai dari elektronik, mesin, komputer dan informatika hingga otomotif. Mereka sebetulnya mampu menghasilkan produk-produk yang tidak kalah bersaingan dari barang-barang impor.
Hanya saja, selama ini potensi tersebut belum tergali sepenuhnya. Hingga akhirnya pada 2007, sejumlah komunitas SMK berkumpul dan tercetuslah ide merancang produk manufaktur sendiri.
"Kami melihat sangat jarang sekali produk-produk manufaktur yang ada tulisan made in Indonesia, hampir semuanya produk luar. Padahal kita juga mampu memproduksi sendiri sehingga tercetuslah SMK Bisa, Indonesia Bisa," ucapnya ketika berbincang dengan Bisnis, Sabtu (5/10).
Toto menceritakan pada 2007, komunitas SMK tersebut bermitra dengan Autocar Industri Komponen (AIK) untuk merancang dan memproduksi komponen mesin mobil 1.500 cc, dan terus berlanjut pada 2008.
Hingga pada 2010, SMK bermitra dengan pabrikan asal China, Foday dan Jinbei, serta sejumlah UKM untuk mengembangkan mobil SUV dan mini truk untuk diuji pada pameran Interntional Manufacturing. Ternyata, antusiasme masyarakat sangat baik.
“Untuk menggulirkanya ke pasaran, harus ada entitas bisnis, maka dibentuklah PT Solo Manufaktur Kreasi pada 2010 oleh sejumlah UKM dan gabungan koperasi SMK di Solo dan sekitarnya,” tuturnya.
Selain memanfaatkan keahlian para siswa SMK memproduksi mobil dalam negeri, perusahaan tersebut juga dibentuk untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan yang akhirnya menekan angka pengangguran di Indonesia.
Toto menuturkan untuk mendapatkan ijin produksi mobil tersebut secara massal bukanlah perkara mudah. Pasalnya, berbagai uji coba harus dilakukan oleh PT SMK hingga akhirnya mobil Esemka lulus uji emisi pada 16 Agustus 2012 dan diproduksi untuk menguji ketahanan pada November 2012 sebelum benar-benar dipasarkan.
“Untuk dipasarkan harus ada jaminan mesin dan ketahanan dengan waktu penggunaan minimal 3 tahun atau digunakan dalam jarak tempuh 100.000 km, saat ini sudah 70.000 km, dan tidak ada hambatan berarti,” ujarnya.
Rencananya, pada bulan ini, pihaknya akan mempersiapkan perakitan pasar dan komponen-komponen sehingga mobil tersebut siap untuk diproduksi secara massal.
Tawarkan Bisnis Unik
Berbeda dengan produksi mobil pada umumnya yang berpusat pada pabrik rakitan, mobil Esemka ini justru menawarkan peluang bisnis kepada seluruh masyarakat Indonesia yang berniat menjadi investor.
Pasalnya, untuk memproduksi mobil Esemka, perusahaan bermitra dengan sejumlah SMK dan UKM yang saat ini berada di 33 titik tersebar di sekitar Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Titik-titik perakitan tersebut menurutnya akan terus bertambah hingga tersebar hampir di seluruh provinsi dengan total 181 titik perakitan.
“Setiap orang yang ingin memiliki mobil ini, juga sekaligus dapat menjadi pemilik usaha. Dengan cara, membeli komponen dari pusat, yang nantinya dirakit pada titik-titik perakitan di daerahnya masing-masing,” jelasnya.
Untuk membeli komponen lengkap dengan ongkos kirim, investor hanya perlu mengeluarkan modal sebesar Rp125 juta hingga Rp130 juta, nantinya komponen tersebut dirakit pada lokasi perakitan di daerahnya masing-masing dengan biaya perakitan Rp4 juta.
“Selain digunakan sendiri, investor juga dapat menjual mobilnya seharga Rp140 juta per unit. Keuntungannya bisa dibagi dua antara pemilik modal dengan PT SMK atau diputar lagi untuk membeli komponen mobil,” ujarnya.
Di sisi lain, proses produksi yang dilakukan pada masing-masing daerah juga dapat semakin membuka lapangan pekerjaan, tidak berpusat pada satu titik saja.
“Kita harus mampu berdayakan putra-putri daerah. Dengan proses yang seperti ini, anak-anak Papua dapat memproduksi sendiri mobilnya, begitu pula dengan anak-anak yang ada di Aceh. Jadi, mereka tidak hanya membeli mobil jadi, tetapi merakit dan mengembangkan sendiri. Dari dan untuk masyarakat Indonesia sehingga muncul kecintaan terhadap produk buatan sendiri.”
Selain model tipe SUV, Esemka juga memproduksi mobil tipe Pick up bernama Bima dengan harga jual sekitar Rp70 juta. Menurutnya, kapasitas produksi masing-masing titik perakitan rata-rata sekitar 100 unit per bulan. Dengan adanya 33 titik perakitan, rata-rata perbulan, Esemka mampu memproduksi sekitar 3.300 unit per bulan.
Meski rakitan anak SMK, Toto menjamin pihaknya akan tetap menjaga kualitas mobil-mobil tersebut. “Kami tidak hanya mempertaruhkan kualitas, tetapi juga nama baik bangsa, karena itu kami akan benar-benar menjaga proses produksi. Maka di setiap titik perakitan akan ada supervisor dan quality control dari pusat.”
Setelah berhasil memasarkan mobil Esemka, pihaknya akan semakin percaya diri memproduksi berbagai produk turunan otomotif dan manufaktur lainnya sehingga seluruh komponen yang digunakan 100% dalam negeri, yang saat ini masih sekitar 70%.
“Kami juga siap memproduksi AC, Lcd, sepeda motor, dan berbagai produk-produk manufaktur lainnya sehingga mampu memerahputihkan Indonesia, karena sebetulnya produk buatan lokal pun tidak kalah dibandingkan impor, yang terpenting saat ini butuh adanya dukungan dari semua pihak untuk menggunakan produk dalam negeri.”