Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mercedes-Benz Indonesia Waspadai Efek Jangka Panjang Krisis Cip

Kekurangan pasokan semikonduktor telah menjadi krisis global sektor otomotif. Sejumlah merek harus mengakalinya dengan menghentikan sementara fasilitas produksi.
Mercedes Benz New S-Class S 450. /Mercedes-Benz Distribution Indonesia
Mercedes Benz New S-Class S 450. /Mercedes-Benz Distribution Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA – PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia (MBDI) mewaspadai efek jangka panjang dari krisis pasokan semikonduktor atau cip, yang diprediksi dapat mengganggu bisnis perusahaan di Tanah Air.

Deputy Director of Sales Operation and Product Management MBDI Kariyanto Hardjosoemarto mengatakan krisis pasokan cip global yang berkepanjang dapat mengganggu aktivitas bisnis Mercedes-Benz Indonesia. Sebab, beberapa model yang dipasarkan di Indonesia masih berstatus impor completely built-up (CBU).

“Ke depannya, saya lihat akan terganggu khususnya untuk produk yang CBU. Tapi, untuk yang statusnya completely knock-down [CKD] masih aman,” ujarnya dalam peluncuran A-Class Sedan Progressive Line dan SUV GLA 200 AMG Line di Jakarta, Kamis (3/6/2021).

Kariyanto menambahkan sampai saat ini permasalahan krisis pasokan cip secara global belum menemukan solusi permanen. Oleh sebab itu, lanjutnya, MBDI akan terus memonitor perkembangan dari isu tersebut.

Di sisi lain, Kariyanto menyatakan bahwa sejauh ini dampak dari krisis pasokan cip global belum memengaruhi bisnis Mercedes-Benz di Indonesia. “Kalau ditanya statusnya saat ini, kami belum terpengaruh,” pungkasnya.

Kekurangan pasokan semikonduktor telah menjadi krisis global sektor otomotif. Sejumlah merek harus mengakalinya dengan menghentikan sementara fasilitas produksi. Masalah ini kian memberatkan langkah pemulihan industri otomotif, yang tahun lalu terdampak pandemi.

Pada pemberitaan sebelumnya, pengamat otomotif Yannes Pasaribu menilai krisis cip semikonduktor sudah mulai terasa di Indonesia. Hal ini utamanya terkait dengan beberapa model yang menggunakan perangkat elektronik canggih pada sistem kerja kendaraan.

Hal tersebut sejalan dengan tren mobil modern yang lebih mengedepankan teknologi. “Jika tahun 2000 sistem elektronik otomotif menghabiskan 18 persen dari total cost, maka pada tahun 2020 meningkat jadi 40 persen dari dari total harga produksi mobil,” tuturnya.

Kendati demikian, Yannes mengatakan Indonesia tidak akan merasakan dampak krisis cip separah negara-negara lain. Pasalnya, segmentasi terbesar pasar otomotif nasional berada pada segmen entry level hingga menengah yang tidak membutuhkan banyak fitur canggih.

Meskipun krisis cip diperkirakan tidak terlalu mengganggu, dia menyatakan pabrikan otomotif perlu melakukan langkah strategis. Salah satunya dengan mengalihkan penggunaan cip dari kendaraan yang kurang laku ke kendaraan yang memiliki permintaan tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper