Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelaku Industri : Banyak Faktor Bikin Penjualan Otomotif Seret

Pasar domestik pada 5 tahun terakhir stagnan pada kisaran 1 juta unit, padahal industri otomotif meningkatkan investasi termasuk kedatangan pemain baru.
ilustrasi./Mitsubishi
ilustrasi./Mitsubishi

Bisnis.com, JAKARTA – Penjualan kendaraan selama 5 tahun terakhir ibarat bertambah pemain tetapi berebut kue yang ukurannya sama.

Pasar domestik pada 5 tahun terakhir stagnan pada kisaran 1 juta unit, padahal industri otomotif meningkatkan investasi termasuk kedatangan pemain baru.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan kendaraan sejak 2015 paling tinggi terjadi pada tahun lalu yakni sebanyak 1,15 juta unit. Periode lainnya selalu lebih rendah dari angka tersebut. Jika dihitung rata-rata sejak 2015 maka penjualan kendaraan nasional sebanyak 1,07 juta unit per tahun.

Namun, berbagai merek terus melakukan investasi mulai dari membangun pabrik baru pendatang baru seperti Wuling dan DFSK hingga memambah produksi bagi merek yang telah hadir lama seperti Toyota, Mitsubishi Motors dan lainnya.

Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan selaku produsen perseroan berupaya untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Perlambatan pasar domestik selama beberapa tahun terakhir terjadi karena sejumlah faktor. Salah satunya ialah pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi menyentuh angka 6% seperti yang terjadi pada 2012.

“Pada 2012 kami prediksi pasar setidaknya bisa sampai 1,3 juta atau 1,5 juta kalau pertumbuhan ekonomi pada level 6%-an. Tapi saat itu komoditas lagi bagus tapi saat ini memang tidak sesuai harapan. Kita perlu evaluasi market kita,” ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.

Bob mengatakan dua hal penting lainnya yang harus dilihat kembali ialah suku bunga dan pajak kendaraan bermotor khususnya bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB). Menurutnya, suku bunga pinjaman saat ini masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara lain sehingga konsumen berhitung lagi untuk membeli kendaraan.

Penurunan uang muka, katanya, tidak berdampak signifikan jika tidak diikuti dengan penurunan suku bunga. Suku bunga pinjaman yang berada pada level 10%, katanya, tergolong tinggi dibandingkan negara lain yang sekitar 5%-an.

“Kita masih punya hambatan suku bunga tinggi, di atas 10%, negara lain berapa di bawah 5% itu juga memengaruhi.”

Bob mengatakan selain suku bunga, tarif BBN-KB juga perlu dilihat kembali karena semua tarif tersebut akan dibebankan kepada konsumen. Jika tarif BBN-KB terlalu tinggi, konsumen menahan belanja yang pada akhirnya penerimaan pemerintah dari sektor otomotif juga melambat.

Dia berpendapat dengan suku bunga tinggi kemudian tarif BBN-KB-yang menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah-akan membuat daya beli konsumen melambat. Akibatnya, konsumsi melambat dan pertumbuhan ekonomi juga terdampak.

“Untuk itu kita harus lebih efisien baik pada industri keuangan dan pada sisi industri berupa supply yang efisien. Dengan efisiensi, harga menjadi kompetitif dan daya beli konsumen meningkat,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Thomas Mola
Editor : Galih Kurniawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper